Minggu, 21 Februari 2010

Kebudayaan Mandailing

Orang Mandailing adalah Etnis Batak
Tulisan ini ditujukan untuk menjawab satu pertanyaan yaitu Mandailing tidak sama dengan Batak. Suku batak terdiri dari enam sub-grup yaitu Toba Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, dan angkola. Keenam sub-grup tersebut terdistribusi disekelilingi Danau Toba, kecuali Mandailing dan Angkola yang hidup relatif jauh dari Danau Toba, dekat keperbatasan Sumatera Barat.
Anggapan bahwa Mandailing bukan Batak didasarkan keadaan lapangan bahwa pada umumnya etnis mandailing memiliki agama yang berbeda dengan etnis batak. Dalam hal ini agama Islam dan Kristen baik Protestan maupun Katolik. Dalam kebudayaan Mandailing maupun batak secara keseluruhan kedua agama tersebut muncul dan dianut setelah mengalami proses yang lama. Konsep agama pada dahulunya didasarkan pada dinamisme dan animisme. Perkembangan masyarakat sipirok di tapanuli selatan diperkirakan baru muncul lebih kurang Sembilan abad setelah pengaruh Islam mulai berkembang di Barus atau pantai barat Tapanuli tengah. Daerah mandailing tapanuli selatan telah ada sebelum pengaruh islam, karena sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti peninggalan sejarah yang menunjukkan adanya perkembangan Islam yang meluas baik di Tapanuli Tengah maupun Tapanuli selatan sejak abad ke-7, sedangkan agama Kristen masuk kedaerah Sumatera Utara dimulai dengan masuknya para misionaris yang ikut dengan rombongan penjajah belanda. Hal lain yang menganggap bahwa mandailing bukan batak didasarkan karena mandailing memiliki perbedaan bahasa dengan bahasa batak. Anggapan ini runtuh dengan jawaban bahwa bahasa atau linguistic pada awalnya sama namun karena dipengaruhi factor lingkungan, kebiasaan dan hal lain maka terjadi pergeseran dari bahasa semula. Namun pergeseran ini tidak menimbulkan perbedaan yang berarti sebagai bahan acuan adalah adanya perbandingan antara beberapa kosa kata bahasa sipirok dan bahasa sansekerta. Dalam perbandingan tersebut kata “huta” yang dalam sansekerta “kota”yang memiliki arti sebagai kampong dan kosa kata ini juga digunakan dalam masyarakat Batak. Kosa kata lainnya adalah “debata” yang dalam bahasa sansekerta “devta” memiliki arti dewata. Dalam masyarakat batak, Toba menyatakan tuhan atau yang memiliki kuasa dengan kata “debata”, Tuhan atu ‘debata” digunakan dalam “somba debata” yang berarti sembah/sujud kepada tuhan atau pencipta alam. Factor bahasa yang menjadi pembeda antara mandailing dan batak juga bukanlah factor yang memiliki perbedaan signifikan antara Mandailing dan Batak. Perbedaan-perdaan yang menjadi landasan anggapan bahwa mandailing dan batak hilang dengan sendirinya apabila dikaji secara mendalam. Usaha-usaha pembedaan yang mengarah pada pemisahan antara mandailing dan batak adalah merupakan taktik strategi bangsa penjajah (Belanda) untuk memecah persatuan dan keutuhan Nusantara. Sampai saat ini masih ada kelompok orang yang mempertahankan anggapan bahwa Mandailing bukan bagian dari batak secara luas. (http://www.duniaesai.com/antro/antro19.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar