Senin, 19 April 2010

Masalah-Masalah Sengketa Perjanjian Perbatasan Indonesia

1. Perbatasan Indonesia‐Malaysia
Penentuan batas maritim Indonesia‐Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Demikian pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak.

2. Perbatasan Indonesia‐Filipina
Belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu isu yang harus dicermati.

3. Perbatasan Indonesia‐Australia
Perjanjian perbatasan RI‐Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI‐Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan batas yang baru RIAustralia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste.

4. Perbatasan Indonesia‐Papua Nugini
Indonesia dan PNG telah menyepakati batas‐batas wilayah darat dan maritim. Namun ada beberapa kendala budaya yang dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak‐hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.

5. Perbatasan Indonesia‐Vietnam
Wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan tersebut.

6. Perbatasan Indonesia‐India
Perbatasan kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik‐titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, sudah disepakati oleh kedua negara. Namun permasalahan di antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan.

7. Perbatasan Indonesia‐Republik
Palau Sejauh ini kedua negara belum sepakat mengenal batas perairan ZEE Palau dengan ZEE Indonesia yang terletak di utaraPapua sehingga sering timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para nelayan kedua belah pihak.

Sumber: diolah dari “Isu Perbatasan NKRI dengan Negara Tetangga”, Interpol Indonesia,
25 September 2008, http://www.interpol.go.id/interpol/news.php?read=92, akses tanggal 9
Maret 2009.

Sementara Buku Utama Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara: Prinsip Dasar, Arah Kebijakan, Strategi dan Program Pembangunan yang dikeluarkan oleh Bappenas tahun 2006 menyebutkan bahwa garis batas darat antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan sepanjang 2.000 kilometer hingga saat ini belum tuntas dan masih menyisakan 10 permasalahan utama yang belum diselesaikan. Untuk perbatasan laut, kawasan perairan yang menjadi sengketa dengan negaranegara tetangga mencakup: terkait dengan Zona Ekonomi Ekslusif (bersengketa dengan Malaysia, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini, Timor Leste, India, Singapura, dan Thailand), terkait dengan Batas Laut Teritorial (Timor Leste dan Malaysia-Singapura), serta terkait dengan Batas Landas Kontinen (Vietnam, Filipina, Republik Palau, dan Timor Leste).
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 78/2005 menyebutkan bahwa pulau-pulau kecil terdepan di Indonesia mencapai jumlah 92 Pulau dan berbatasan dengan beberapa Negara, yakni Malaysia (22 pulau), Vietnam (2 pulau), Filipina (11 pulau), Singapura (4 pulau), Australia (23 Pulau), Timor Leste (10 pulau) dan India (12 pulau).17 Pulau-pulau ini rawan bagi terjadinya sengketa perbatasan karena posisi pulau-pulau tersebut sebagai titik dasar pengukuran wilayah batas Indonesia dengan negara lain. Namun dari sejumlah permasalahan perbatasan dengan negara-negara tetangga tersebut, permasalahan dengan Malaysia merupakan yang paling sering terjadi. Hal ini terungkap dari paparan yang disampaikan oleh Menkopolhukam di dalam rapat kerja Komisi I tanggal 2 Maret 2009.
Sepanjang tahun 2008, Kementerian Polhukam mencatat terjadi 21 kali pelanggaran kedaulatan oleh kapal perang Malaysia dan 6 kali oleh kapal polisi maritim Malaysia di sekitar perairan Kalimantan Timur dan Laut Sulawesi. Sementara di perairan lainnya terjadi pelanggaran sebanyak 3 kali. Selama tahun 2008 pula terjadi 16 kali pelanggaran wilayah udara di wilayah Kalimantan Timur, 3 kali di wilayah Papua, 2 kali di wiilayah Selat Malaka dan 7 kali di wilayah-wilayah Indonesia lainnya.

Dikutip dari Aditya Batara G., “Manajemen Garis Perbatasan Indonesia: Sebuah Usaha Menjamin Keamanan Warganegara” di dalam Aditya Batara G & Beni Sukadis (ed.) Reformasi Manajemen Perbatasan di Negara-Negara Transisi Demokrasi, DCAF & Lesperssi, 2007.

PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA

Indonesia dan Malaysia adalah sepasang negeri jiran yang sebelum diperkenalkannya konsep negara modern (pasca perjanjian Westphalia 1648) tak mengenal batas-batas fisik maupun batas-batas kultural. Era kolonialisme Eropa Barat di kedua negara dilanjutkan dengan lahirnya negara modern Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Malaysia pada 31 Agustus 1957 berkonsekwensi terciptanya garis demarkasi antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan. Perbatasan dalam artian fisik kemudian tercipta di sepanjang pulau Kalimantan sejauh 2004 kilometer (yang merupakan perbatasan fisik terpanjang Indonesia dengan negara lain) dan perbatasan laut di sepanjang Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi.
Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Pada awalnya perbatasan sebuah negara atau state’s border dibentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan dengan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda.

Belajar dari Kasus Sipadan Ligitan dan Pulau Miangas, Sulawesi Utara



Kalahnya Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di muka International Court of Justice (ICJ) The Hague pada tahun 2002 adalah ibarat rapor merah bagi diplomasi Indonesia. Namun I Made Arsana berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya. Malaysia dimenangkan karena telah menjalankan kontrol efektif terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan berupa fungsi administrasi pemerintahan, legislatif, maupun quasi yudikatif. Para hakim (16 hakim memenangkan Malaysia dan 1 menolak) bersepakat bahwa Malaysia terlihat memiliki niat dan keseriusan untuk menjalankan fungsi kenegaraannya di Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia juga telah lama (ketika masih dijajah Inggris) menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai daerah konservasi penyu dan burung. Bahkan mereka pernah mengeluarkan Turtle Preservation Ordinance pada tahun 1917.22 Klaim-klaim yang terbukti secara sosiologis inilah yang kurang dipunyai Indonesia dan menyebabkannya kalah di persidangan ICJ tersebut. Pelajaran berikutnya adalah kasus Pulau Miangas di Sulawesi Utara. Pulau terluar Indonesia yang hanya berjarak 78 mil dari Davao City-Mindanao, Philippines dan berjarak 324 mil dari Manado, Sulawesi Utara ini, sempat menuai masalah pada bulan Mei 2005. Matinya sekretaris desa, Jhonly Awala di tangan kepala polisi setempat berujung pada pembangkangan terhadap pemerintah RI. Merah putih diturunkan dan diganti bendera negara Philippina. Rupanya kematian ini hanya salah satu pemicu saja, karena sudah lama rakyat setempat yang hanya berjumlah 982 jiwa hidup secara terisolir.
Mengelola perbatasan Indonesia-Malaysia bagi pemerintah Indonesia tak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada pendekatan kemiliteran (hankam) belaka. Pendekatan kemiliteran tetap penting, utamanya dalam menangani masalah di perbatasan laut ataupun tindak pidana di perbatasan darat seperti illegal logging, smuggling, ataupun human trafficking. Namun pendekatan kemiliteran saja tidak cukup karena persoalan perbatasan fisik Indonesia-Malaysia jauh lebih kompleks daripada masalah kemiliteran belaka (goes far beyond military threat). Kasus-kasus yang terjadi di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan seperti bergantinya kewarganegaraan sejumlah besar WNI menjadi warga Negara Malaysia, ataupun lintas batas secara illegal tanpa melalui pintu yang resmi, harus dipahami dalam perspektif mengejar kesejahteraan ekonomi (economic security) dan juga keamanan pangan (food security), daripada sebagai pembangkangan anak bangsa terhadap negaranya. Maka, dalam konteks ini, perhatian terhadap pendekatan keamanan non tradisional dalam mengelola masalah perbatasan menjadi amat penting, utamanya adalah perhatian terhadap aspek-aspek human security sebagaimana dimaksud dalam laporan UNDP tahun 1994. Kemudian, belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Miangas di perbatasan laut dengan Philippina, negara RI harus juga mengupayakan perhatian terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Negara harus memposisikan pulau-pulau tersebut sebagai halaman depan (frontyard) Indonesia dan bukannya laksana halaman belakang (backyard) yang boleh diabaikan begitu saja. Perhatian penuh mesti dicurahkan dan pembangunan mesti dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau terluar tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara yuridis namun juga secara sosiologis.
Berdasarkan hasil kajian diatas, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan :
• Hingga saat ini telah disusun beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan legitimasi bagi pengelolaan kawasan perbatasan, baik ditinjau dari sisi kadaulatan wilayah, keamanan, maupun dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan kawasan. Namun demikian dalam implementasinya masih terjadi kewenangan yang tersebar dan belum adanya koordinasi yang baik. Hal ini disebabkan belum adanya suatu kelembagaan khusus yang memayungi lembaga-lembaga yang terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan antar negara.
• Kelembagaan pengelolaan kawasan perbatasan yang ada saat ini belum berjalan secara optimal, untuk itu perlu ditinjau kembali baik dari segi kepemimpinan, struktur, program, maupun pemanfataan sumber daya yang dimiliki, baik pada komite-komite perbatasan, instansi pusat terkait, maupun pemerintah daerah di kawasan perbatasan.
• Terdapat 5 (lima) model alternatif kelembagaan pengelola perbatasan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan, yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam memutuskan alternatif terbaik sesuai dengan kondisi yang ada :
􀂃 Lembaga yang mempertahankan mekanisme kelembagaan yang sudah saat ini dengan memperbaiki koordinasi pada mekanisme pengelolaan secara sektoral.
􀂃 Lembaga yang mempertahankan mekanisme kelembagaan yang sudah ada saat ini dengan memperbaiki koordinasi diantara komite-komite ad-hoc yang ada.
􀂃 Membentuk Badan Pengelola Kawasan Perbatasan Antarnegara (BP-KPA).
􀂃 Membentuk Dewan Koordinasi Perbatasan Kawasan Perbatasan Antarnegara (DP-KPA).
􀂃 Membentuk Badan Koordinasi Percepatan Pembangunan Kawasan Perbatasan Antarnegara (BK- P2KPA)


(http://www.permitha.org/public/Mengelola%20Perbatasan%20Indonesia%20Malaysia%20-%20Heru%20susetyo%20-%20Thailand.pdf)
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/7417/